Senin, 11 Oktober 2010

Kasih Ibu Sepanjang Masa, Cinta Anak Sepanjang Masa..kan ?



Pada malam itu, Ana bertengkar dengan ibunya. Karena sangat marah, Ana segera meninggalkan rumah tanpa membawa apapun. Saat berjalan di suatu jalan, ia baru menyadari bahwa ia sama sekali tidak membawa uang. Saat menyusuri sebuah jalan, ia melewati sebuah kedai bakmi dan ia mencium harumnya aroma masakan. Ia ingin sekali memesan semangkuk bakmi, tetapi ia tidak mempunyai uang.
Pemilik kedai melihat Ana berdiri cukup lama di depan kedainya, lalu berkata “Nona, apakah engkau ingin memesan semangkuk bakmi?” ”Ya, tetapi, aku tidak membawa uang” jawab Ana dengan malu-malu “Tidak apa-apa, aku akan mentraktirmu” jawab si pemilik kedai. “Silahkan duduk, aku akan memasakkan bakmi untukmu”.
Tidak lama kemudian, pemilik kedai itu mengantarkan semangkuk bakmi. Ana segera makan beberapa suap, kemudian air matanya mulai berlinang.
“Ada apa nona?” tanya si pemilik kedai. “Tidak apa-apa, aku hanya terharu” jawab Ana sambil mengeringkan air matanya. “Bahkan, seorang yang baru kukenal pun memberi aku semangkuk bakmi, tetapi, ibuku sendiri, setelah bertengkar denganku, mengusirku dari rumah dan mengatakan kepadaku agar jangan kembali lagi ke rumah. Kau, seorang yang baru kukenal, tetapi begitu peduli denganku dibandingkan dengan ibu kandungku sendiri” katanya kepada pemilik kedai.
Pemilik kedai itu setelah mendengar perkataan Ana, menarik nafas panjang dan berkata, “Nona mengapa kau berpikir seperti itu? Renungkanlah hal ini, aku hanya memberimu semangkuk bakmi dan kau begitu terharu. Ibumu telah memasak bakmi dan nasi untukmu saat kau kecil sampai saat ini, mengapa kau tidak berterima kasih kepadanya? Dan kau malah bertengkar dengannya”
Ana, terhenyak mendengar hal tsb. “Mengapa aku tidak berpikir tentang hal tersebut? Untuk semangkuk bakmi dari orang yang baru kukenal, aku begitu
berterima kasih, tetapi kepada ibuku yang memasak untukku selama bertahun-tahun, aku bahkan tidak memperlihatkan kepedulianku kepadanya. Dan hanya karena persoalan sepele, aku bertengkar dengannya.
Ana, segera menghabiskan bakminya, lalu ia menguatkan dirinya untuk segera pulang ke rumahnya. Saat berjalan ke rumah, ia memikirkan kata-kata yang harus diucapkan kepada ibunya. Begitu sampai di ambang pintu rumah, ia melihat ibunya dengan wajah letih dan cemas.
Ketika bertemu dengan Ana, kalimat pertama yang keluar dari mulutnya adalah “Ana kau sudah pulang, cepat masuklah, aku telah menyiapkan makan malam dan makanlah dahulu sebelum kau tidur, makanan akan menjadi dingin jika kau tidak memakannya sekarang”.
Pada saat itu Ana tidak dapat menahan tangisnya dan ia menangis dihadapan ibunya.
Sekali waktu, kita mungkin akan sangat berterima kasih kepada orang lain di sekitar kita untuk suatu pertolongan kecil yang diberikan kepada kita. Tetapi kepada orang yang sangat dekat dengan kita (keluarga) khususnya orang tua kita, kita harus ingat bahwa kita berterima kasih kepada mereka seumur hidup kita.
Seringkali kita menganggap pengorbanan mereka merupakan suatu proses alami yang biasa saja; tetapi kasih dan kepedulian orang tua kita adalah hadiah paling berharga yang diberikan kepada kita sejak kita lahir.

Transaksi Nilai Kasih Sayang Ibu



Aghnanku,Cintailah Para Orang Tua...
Suatu hari, Aghnan yang masih duduk dikelas 5 SD mendatangi ibunya yang sedang sibuk menyediakan makan malam di dapur. Kemudian dia mengulurkan secarik kertas yang bertuliskan sesuatu. Si Ibu segera membersihkan tangan lalu menerima kertas yang diberikan oleh anak tercintanya itu dan membacanya.
INVOICE Ongkos upah membantu ibu:
1. Membantu pergi ke warung : Rp. 20.000
2. Menjaga adik : Rp. 20.000
3. Membuang sampah : Rp. 5.000
4. Membereskan tempat tidur : Rp. 10.000
5. Menyiram tanaman : Rp. 15.000
6. Menyapu halaman : Rp. 15.000
Total : Rp. 85.000
Selesai membaca, si Ibu tersenyum memandang Aghnan yang raut wajahnya mulai berbinar. Si Ibu maklum dan amat senang dengan kepandaiannya “bertransaksi”, karena memang si Aghnan dididik untuk bisa berbisnis agar kelak bisa hidup mandiri dan bisa berbagi kepada sesama. Lalu dengan tetap tersenyum si Ibu mengambil pena dan menulis sesuatu di belakang kertas yang sama.
1. Ongkos mengandungmu selama 9 bulan : GRATIS
2. Ongkos berjaga malam karena menjagamu : GRATIS
3. Ongkos airmata yang menetes karenamu : GRATIS
4. Ongkos khawatir karena selalu memikirkan keadaanmu : GRATIS
5. Ongkos menyediakan makan, minum, pakaian & keperluanmu : GRATIS
Total keseluruhan Nilai Kasihku GRATIS
Airmata si Aghnan kontan berlinang setelah membaca nota “pembayaran” ibunya tersebut. Aghnan menatap wajah ibu, memeluknya dan berkata, “Aghnan sayang ibu” . Kemudian Aghnan mengambil pena dan menulis sesuatu di depan surat yang ditulisnya: “TELAH DIBAYAR LUNAS !!” dan menyerahkan kepada ibunya sembari memberi bonus sejuta kecupan buat Ibunya.
(disunting dari tulisan Bapak Fourqy Alfurqon Noordien )

Gaji Seorang Ibu Rumah Tangga



Menjemput anak di sekolah merupakan hal emergency, karena biasanya anakku selalu di jemput oleh salah seorang tetanggaku. Menunggu jam pulang sekolah, saya dan ibu-ibu berkumpul di teras masjid. Udara terasa tak bersahabat, kulit terasa kering di panggang matahari siang. Ketika aku bersandar di salah satu tiang teras masjid, terasa sepoi angin membelai tubuh, rasa ngantukpun rasanya tak bisa dielakkan. Kelopak mata terasa berat, jika ada suara teriakan dari salah seorang murid dari ruang kelas, maka serentak kami terbangun.

Masjid itu letaknya di depan sekolah. Sekolah dan masjid merupakan satu kesatuan usaha, yang dikelola oleh suatu yayasan yang berbasis Islam di Sengata. Lapangan parkirnya tidak begitu luas, tapi cukup representative jika ada pertemuan wali murid.

“Jangan minder jadi seorang ibu rumah tangga.” Aku mulai membuka pembicaraan.

Menunggu memang sebuah pekerjaan yang melelahkan. Menjemput anak di sekolah diperlukan management yang tepat, Bagi ibu-ibu yang berkarier di rumahnya, dipastikan setiap subuhnya sudah berlenggak lengok mengejar jam tayang urusan antar jemput anaknya sekolah.

“Aku nggak minder lho… Cuma waktu kerja dulu aku sempat mikir juga. Rasanya gajiku habis untuk bayarin pembantu!” Seorang ibu menimpali ucapanku.

“Saya sering bantuin suamiku jika dapat proyek dari kantornya. Kadang bantuin mengetik, atau seperti ini…” Dia memperlihatkan kertas karton yang sedang di guntingnya. Ibu ini bercerita sambil asyik dengan kegiatannya. Dengan tangkas dia menggunting dengan teliti logo-logo untuk persiapan MTQ yang akan di gunakan sebagai tanda peserta.

Aku tersenyum simpul dan bergumam sendiri :” Ibu ini ternyata mampu memanfaatkan waktunya. Menunggu anak sekaligus mengerjakan tugas suami.”

“Mana karton yang lainnya? Daripada ngantuk, lebih baik bantuin.” Ada yang berbaik hati, menawarkan bantuannya.

Ibu-ibu yang berkumpul ternyata cukup kreatif. Ada mempunyai anak 3 orang, 6 orang dan 2 orang. Berkumpul pada pagi Jum’at ini, membuat hati tersirami. Ada tempat saling curhat tentang kegiatan yang tak habisnya bila hanya di rumah.

“Bayarin pembantu sekarang mahal. Dulu aku bayarin pembantu Rp.500.000,- ditambah ongkos taksinya”.

“Jika ambil tukang setrika, mintanya Rp.350.000,- per bulan.” Yang lain mulai buka mulut.

“Tukang cucipun, nggak mau dibayar kurang dari Rp. 300.000,-.” Mulai ramai ibu-ibu itu menimpali pancinganku.

Terlihat suasana mulai hangat. Dari suasana ngantuk menjadi forum pertemuan informal membahas mahalnya bayaran kepada seorang pembantu rumah tangga.

Kotaku merupakan kota tambang. Merupakan hal yang biasa bagi kami untuk membayar gaji seorang pembantu di atas lima ratus ribu rupiah per bulannya. Kadang ada yang dibayar satu juta rupiah, tergantung jenis pekerjaan dan kesepakatan antara pembantu dan majikan. Mungkin bagi di daerah lain, itu merupakan gaji seorang administrasi di sebuah kantor.

“Kalau dihitung-hitung, berapa gaji kita sebagai ibu rumah tangga?” Seorang ibu berbicara dengan nada bersemangat. Membuat ibu-ibu lainnya tersenyum dan bahkan tertawa. Meriah sekali! Aku suka suasana ini. Bertemu untuk saling diskusi. Untuk berbagi unek-unek yang tersimpan. Apalagi yang diajak diskusi satu profesi. Hem! Pasti mereka saling memahami dan mensupport apapun yang disampaikan.
Ibu-ibu pada sibuk menghitung dan akhirnya tertawa serempak. Tak ada hasil hitungan yang pasti. Mereka hanya menjawab dengan gelak tawa. Memposisikan diri sebagai pembantu. Menilai gaji yang akan mereka terima setiap bulannya.

“Bagaimana bila kita minta gaji ke suami masing-masing.” Ada ibu yang mulai memancing suasana.

Tak ada yang menjawab, karena anak-anak mereka telah bubar dari kelas masing-masing. Mereka menghampiri ibunya masing-masing dan merengek untuk cepat pulang. Kami hanya bisa saling tukar senyum, sebagai pengganti penutup acara informal kami.
Ketika pulang, aku masih memikirkan perbincangan pagi itu. Jika di kalkulasi memang seorang ibu rumah tangga akan mendapatkan pendapatan yang lumayan. Jika rumahtangganya adalah kariernya untuk mendapatkan “materi” maka si ibu akan mendapatkan pendapatan yang lumayan.

Mungkin ibu-ibu itu hanya mengeluarkan unek-uneknya untuk bisa dihargai oleh suaminya ataupun lingkungannya. Bahwa pekerjaan seorang ibu rumah tangga adalah pekerjaan yang tidak boleh di anggap remeh oleh siapapun.
Sebagai ibu rumah tangga yang muslimah, tentunya hitungan mendapatkan gaji sebagai ibu rumah tangga hanyalah sebuah “joke” untuk menyegarkan pikiran yang kadang buntu. Seringkali diharuskan pandai-pandai mengelola keuangan. Berapa pun yang diberikan oleh suami harus mampu mencukupi untuk kebutuhan rumah tangga selama sebulan.

Allah S.W.T telah menyediakan “gaji” bagi seorang ibu rumah tangga, Bila ia menjalankan pekerjaan rumah tangganya dengan ikhlas, maka sama saja dia menjalankan amal sholeh yang tidak putus-putusnya. Tentu saja bagiannya adalah “syurga”.

Sebuah hadits yang di riwayatkan oleh Aisyah : “ Beliau di tanya oleh seorang sahabat, amalan apa yang disukai oleh Allah? Maka di jawab oleh Aisyah bahwa amalan yang dikerjakan walaupun sedikit tapi dilakukan secara terus menerus”.

“Bila seorang wanita menjalankan sholat, puasa di bulan Ramadhan dan menyenangkan hati suaminya ( dalam kerangka syariat ) maka dia akan memasuki syurga dari pintu manapun yang dia sukai”. Begitulah salah satu hadits dari Rasulullah.

Semoga saya dan beserta ibu-ibu rumah tangga lainnya, diberikan oleh Allah S.W.T berupa kelapangan dada dan keikhlasan dalam menjalankan pekerjaan rumah tangga. Allahumma Amin.

Bayangkanlah...



Bayangkan….
Saat itu anda sedang berdiri di puncak sebuah gunung.
Udara sejuk menerpa sekeliling anda.
Anda melemparkan pandangan ke segala penjuru.
Posisi anda berada paling tinggi.
Anda merasa puas dan lega.
Namun, tiba-tiba anda memutuskan untuk turun dari gunung itu.
Jalan terjal anda lalui dan akhirnya anda berada di jalan menuju ke rumah anda.
Di depan pagar rumah, anda tertegun.
Anda melihat banyak orang memasuki halaman dan rumah anda.
Anda pun melangkah masuk ke dalam rumah.
Anda melihat banyak sekali orang di dalamnya, penuh sesak.
Terlihat istri/suami, anak-anak, sanak famili anda tengah menangis terisak melingkari sesosok tubuh terbujur kaku ditutupi kain.
Anda mendekati sosok itu.
Itu adalah diri anda sendiri. Tubuh anda terbujur kaku tak bergerak.
Anda telah meninggal dunia.
Tak lama setelah itu tubuh anda pun diangkat. Anda meronta ingin berkata-kata kepada mereka yang anda cintai bahwa anda tidak ingin diangkat. Anda masih ingin menikmati kehidupan ini.
Tapi anda tak berdaya. Dan mereka pun tak mendengar teriakan anda.
Anda pasrah.
Tubuh anda dibawa ke tempat peristirahatan terakhir. Perlahan-lahan tubuh anda dimasukkan ke liang lahat. Anda pun pasrah tak dapat berbuat apa pun. Saat pandangan mulai gelap. Mereka pun menimbun anda dengan tanah.
Saat itu anda pun tersadar bahwa kematian telah menjemput. Anda harus berpisah dengan mereka yang anda cintai.
Ada rasa sesal mendalam bahwa anda belumlah berbuat yang terbaik untuk mereka.
Anda merasa belum mencintai sepenuhnya suami/istri anda.
Anda belum meluangkan waktu yang cukup untuk anak-anak anda.
Anda belum berbuat yang terbaik untuk orang tua anda.
Anda belum berbuat yang terbaik buat orang-orang di sekeliling anda.
Tapi apa daya. Tubuh anda sudah terbujur kaku di dalam tanah yang gelap gulita. Mereka sudah berjalan meninggalkan pusara anda.
———-
Jangan sampai penyesalan itu anda alami.
Berbuatlah yang terbaik hari ini juga. Berbuatlah yang terbaik untuk suami/istri anda, untuk orang tua anda, untuk anak-anak anda, untuk masyarakat anda, untuk pekerjaan/bisnis, untuk agama anda hari ini juga. Sebelum terlambat.
———

Jumat, 01 Oktober 2010

Bala Tentara Belalang



2 Kisah shalat



Kisah ke-1:

Alkisah, sang pembela Islam Ali bin Abi Thalib tertancap mata panah di punggung saat pasukan Islam menggempur musuh.

Beliau sungguh kesakitan, dan tak ada cara lain kecuali mencabut mata panah itu.

Lalu dalam kesakitannya Ali bin Abi Thalib berkata, “cabut mata panah ini saat aku berdiri di rakat kedua..”

Lalu Beliau menunaikan shalat sunnah 2 rakaat. Pelan, tenang, tuma’ninah. Tak ada lagi tanda kesakitan di wajahnya yang tunduk khusyu’ Rakaat kedua tiba dan mereka mencabut anak panah itu. Tak ada tanda kesakitan. hanya darah segar yang mengalir deras. Luka segera diobati.

Setelah salam akhir shalat, sang pembela Islam ini bertanya, “Sudahkah dicabut mata panah tadi?”

Kisah ke-2 :

Syahdan Rasulullah SAW pernah bersabda kepada Bilal : Wahai Bilal, jadikan shalat sebagai tempat istirahat-mu



RENUNGAN :

Dari kisah ke-1, yakin tidak satupun kita mampu shalat hingga taraf khusyu’ seperti itu. Setidaknya kita bisa tahu bahwa khusyu’ kita belum sempurna sehingga (semoga) bisa menjadi lebih baik dari sekarang. Tentu saja ini hanya berlaku bagi si bening hati…

Dari kisah ke-2 : Yang saya rasakan, ruku’ yang lama itu menyegarkan, sujud yang lama itu menentramkan. Pada akhirnya, mudah dengan menjawab pertanyaan selesai shalat : adakah shalat yang barusan tadi menyegarkan kita? Bila jawabannya YA maka fungsi shalat selaku tempat istirahat terpenuhi. Bila jawabannya TIDAK ya berarti (mungkin) belum sampai taraf itu.

Di titik puncaknya, ini sesuai dengan seruan azan setiap subuh (as-shalah khoirum minan naum : shalat itu lebih baik dari tidur).Shalat yang khusyu’ menjamin kesegaran dan kebugaran setelah melakukannya. Lagipula, mana yang lebih indah selain dari beristirahat dibawah naungan teduh ridho-Nya.

Ya Allah, jadikan kami (aku dan pembaca) mampu khusyu’ dalam shalat-shalat kami

wassalam,

dishare dari http://suarahati.wordpress.com/2009/07/04/2-kisah-shalat/