Selasa, 02 November 2010

Menikmati, Bukan Hanya Memiliki



Rumah yang ditempati sekarang ini kami beli dari sepasang suami istri yang berusia jauh di atas kami. Kami tertarik dengan rumah ini karena sesuai dengan impian kami, yaitu bangunannya hanya sepertiga dari tanah. Selebihnya adalah tanah terbuka dengan banyak pepohonan rindang. Kami ingin rumah seperti di kampung.
Suami istri itu bercerita bahwa mereka baru menikmati rumah ini beberapa tahun belakangan ini, setelah si suami pensiun dan si istri melepas jabatan strukturalnya di sebuah kampus ternama. Akhirnya mereka tersadar bahwa selama ini menanggap rumah ini bak rumah kos saja, hanya untuk tidur belaka. Selebihnya sering kosong, karena mereka masing-masing sibuk di luar rumah. Pun pada saat hari libur, mereka habiskan untuk menghadiri acara dan undangan ini itu. Saat ingin menikmati rumah itu, energi mereka sudah tidak seperti dulu lagi. Mereka tidak sanggup lagi merawat rumah yang cukup besar ini. Mereka ingin pindah ke rumah yang lebih kecil.
Salah seorang famili saya begitu antusias dengan hobi barunya, bersepeda. Tidak tanggung-tanggung, entah karena pengaruh iklan atau temannya, ia membeli sepeda yang harganya hampir seratus jutaan. Sekarang kondisi sepeda itu hanya teronggok di pojokan garasi tak terpakai. Pemiliknya ternyata hanya kepincut sebentar dengan mainan itu.
Bahkan seorang kerabat lain punya kesimpulan ekstrim bahwa semua kepemilikannya hanya dinikmati oleh orang lain. Rumahnya lebih banyak dinikmati oleh pembantu yang menjaganya. Mobil lebih banyak dinikmati oleh sopirnya. Ia jadi tidak begitu berminat dengan kepemilikan barang-barang yang bisa dibeli dari hasil jerih payahnya.
Saya sendiri, belakangan ini mulai menginventarisir barang-barang yang saya miliki. Ternyata, setelah ditelusuri banyak di antara barang yang dikumpulkan itu jarang atau nyaris tak ternikmati. Contohnya adalah pakaian. Setelah saya kumpulkan, ada ratusan pakaian menumpuk di lemari dan tak terpakai. Ternyata, saya hanya mengulang-ulang pakaian yang saya sukai saja.
Saya berkesimpulan bahwa saya hanya butuh beberapa helai pakaian saja untuk kebutuhan sehari-hari dan acara tertentu. Jumlahnya tidak sampai 20 potong. Pakaian hasil sortiran yang tak terpakai ini sekarang saya tumpuk. Rencananya mau disumbangkan. Sebagian sudah diangsur oleh pembantu untuk dibawa ke kampungnya.
Gadget, adalah barang yang selalu menggoda saya. Begitu kita beli model terbaru, tak lama kemudian muncul lagi yang lebih canggih dan membuat milik saya jadi kuno. Saya jadi tidak nyaman dengan milik saya yang sekarang ini. Padahal, saya belum maksimal menikmatinya.
Begitulah dunia materi yang selalu menggoda kita dengan berbagai caranya. Mereka merayu kita agar selalu meningkatkan keinginan menjadi kebutuhan.
Saya jadi teringat dengan tulisan Arvan Pradiansyah beberapa tahun lalu di majalah SWA, berjudul: Menikmati, Bukan Memiliki. Banyak di antara kita yang terjebak mengejar kepemilikan, bukan kepada esensi dari kepemilikan itu sendiri, yaitu untuk menikmatinya.
Bagaimana cara untuk menikmati yang kita miliki? Dengan mengendalikan nafsu untuk memiliki lebih banyak dan lebih banyak lagi. Beli sedikit saja, tapi yang betul-betul penting, esensi. Itu saran dari Leo Babauta, penulis blog tentang gaya hidup minimalis yang cukup mempengaruhi saya ini.
Belilah sedikit barang, tapi betul-betul berkualitas, kata Leo. Saya setuju. Jam tangan Seiko yang saya pakai sekarang ini adalah pengganti jam yang saya beli tahun 2002 lalu. Jam ini pun saya ganti bukan karena rusak, tapi atas anjuran istri yang sudah bosan melihatnya Saya sudah sangat puas memakai jam itu sebelum diganti dengan yang lain. Utilitasnya sudah maksimal, menurut teori ekonomi mikro yang saya pelajari.
Begitu juga dengan sepatu. Saya hanya memiliki 3 sepatu. Satu sepatu kasual untuk dipakai sehari-hari, satu sepatu formal jika ada acara yang mewajibkan memakai batik atau jas (sepatu ini sangat tidak saya sukai karena tidak nyaman), dan satu sepatu olah raga.
Menurut saya, kenikmatan dari kepemilikan itu tidak berhubungan dengan jumlah yang dimiliki. Semakin banyak yang dimiliki, semakin berkurang kenikmatannya. Semakin sedikit yang dimiliki semakin maksimal kita menikmatinya.
Lantas, buat apa dong kita mengejar kekayaan? Tergantung tujuannya. Kalau kekayaan hanya dijadikan alat untuk mengejar kepemilikan, niscaya akan sia-sia dan hampa. Kekayaan harus dikejar semaksimal mungkin dengan tujuan yang lebih tinggi dari itu. Anda pasti paham apa maksud saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar